Tujuan  pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025 adalah mewujudkan bangsa  yang maju, mandiri dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan  berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam NKRI berdasarkan  Pancasila dan UUD 1945. Sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang Maju,  Mandiri dan Adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang  diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok sebagai berikut yaitu  terwujudnya daya saing bangsa untuk mencapai masyarakat yang lebih  makmur dan sejahtera, terwujudnya Indonesia yang demokratis berlandaskan  hukum, serta terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan  ke seluruh wilayah.
Sedangkan  dalam mendukung pembangunan nasional dengan dikeluarkannya kebijakan  mengenai otonomi daerah yang memungkinkan daerah untuk mangatur dan  mengurus rumah tangganya sendiri yang dimaksudkan untuk pembangunan  daerah tersebut. Salah satu sumber pendapatan daerah yang digunakan  untuk membiayai pembangunan daerah berasal dari pendapatan asli daerah  (PAD), untuk itu pemerintah daerah harus berusaha meningkatkan  penerimaan daerahnya. Didukung dengan Kebijakan desentralisasi yang  ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pembangunan infrastruktur  dan pemberian berbagai fasilitas kemudahan dilakukan untuk meningkatkan  daya tarik investasi.
Sejak  pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan Indonesia bersatu, salah  satu kebijakan ekonomi yang tidak pernah berubah adalah penggunaan utang  sebagai sumber dana pembangunan, yang senantiasa tercantum dalam  struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Tidak mengherankan  kalau akumulasi penumpukan utang pemerintah semakin membengkak saja dari  tahun ke tahun. Bahkan pembubaran IGGI pada saat pemerintahan Soeharto,  maupun pembubaran CGI pada saat pemerintahan SBY-JK, ternyata tidak  berperan sama sekali dalam menurunkan jumlah utang pemerintah. Alih-alih  bisa menurunkan jumlah utang, justru yang terjadi malah sebaliknya,  jumlah utang pemerintah cenderung semakin meningkat pada setiap  tahunnya. Pada 2002 tercatat utang pemerintah sebesar US$ 63.763 juta  meningkat menjadi US$ 65.446 juta pada 2008, diperkirakan pada 2009 akan  naik lagi menjadi US$ 65.730 juta. Dengan peningkatan jumlah utang  tersebut, tidak bisa dihindari adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan  pokok utang dan bunga pada setiap tahunnya, yang menjadi beban APBN.  Untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga, mau-tidak-mau pemerintah  harus mengusahakan utang baru, yang jumlahnya tidak pernah mencukupi  untuk membayar kewajiban utang pada setiap tahun anggaran berjalan. Pada  2001, jumlah penambahan utang baru hanya sebesar US$ 5.511, sementara  jumlah pembayaran cicilan pokok utang dan bunga mencapai US$ 7.157,  sehingga terdapat selisih negatif sebesar US$ -1.646. Selama periode  2001-2008, selisih negatif tersebut cenderung meningkat pada setiap  tahun, hingga mencapai US$ -4.949 pada 2008. Mungkin tidak  berlebihan dikatakan bahwa dalam kondisi tersebut sesunguhnya bangsa  Indonesia sudah masuk ke dalam perangkap jebakan utang (debt trap), yang  memaksa pemerintah melakukan “gali utang bayar utang” pada setiap  tahunnya. 
Dampak Jebakan Utang 
Memang  rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), yang mengindikasikan  peningkatan kemampuan Indonesia dalam membayar utang, cenderung menurun  pada setiap tahunnya. Pada 2001 rasio utang terhadap PDB masih sebesar  77,0 persen turun menjadi 34,7 persen pada 2008, diperkirakan pada 2009  akan turun lagi menjadi 31,3 persen. 
Namun,  peningkatan eskalasi utang pemerintah yang mengarah pada jebakan utang  tentunya memberikan beberapa dampak negatif yang akan menimpa bangsa  Indonesia. Pertama, rakyat pembayar pajak, yang saat ini sedang  gencar-gencarnya digalakan oleh Ditjen Pajak, harus merelakan sebagian  pajak yang dibayarkannya dipergunakan oleh pemerintah untuk membayar  cicilan pokok utang dan bunga. Selain itu, rakyat kebanyakan juga harus  ikhlas dan sabar membiarkan pemerintah memotong jatah dana pembangunan  dari APBN, yang semestinya bisa untuk membiayai program peningkatan  kesejahteraan rakyat, terpaksa harus digunakan untuk membayar cicilan  pokok utang dan bunga. 
Kedua,  utang akan menyuburkan lahan korupsi bagi aparat birokrasi terkait di  negara penerima. Beberapa studi membuktikan bahwa semakin besar utang  suatu negara, semakin besar pula potensi korupsi dan penyalahgunaan dana  utang tersebut. Bank Dunia dan IMF semestinya tahu dan melakukan  tindakan pencegahan bahwa sebagian utang yang disalurkan ke Indonesia  selama ini telah mengalami kebocoran. Namun, kedua lembaga keuangan  internasional tersebut belum berbuat sesuatu dan terkesan membiarkan  saja dana yang diutangkan itu bocor dalam penggunaannya. Sikap apatis  Bank Dunia dan IMF ini memunculkan tuduhan dari kritikus kebijakan bahwa  selama ini tujuan memberikan utang kepada Indonesia semata-mata untuk  meraup pendapatan bunga sebesar-besarnya, tanpa ambil pusing dana yang  diutangkan itu mengalami kebocoran. 
Ketiga,  rendahnya nilai tambah utang sebagai sumber dana pembangunan. Dalam  setiap pemberian utang kepada Indonesia, negara-negara kreditor selalu  memaksakan persyaratan yang memberatkan dan kadang merugikan bangsa  Indonesia. Pada setiap pemberian utang, negara-negara kreditor selalu  mewajibkan Indonesia untuk membeli barang-barang  dan penggunaan konsultan dari negara-negara kreditor, yang tarifnya  relatif tinggi. Dampaknya, terjadilah arus pembalikan dana yang cukup  besar dari Indonesia kembali ke negara-negara kreditor, tanpa memberikan  nilai tambah yang signifikan bagi program pembangunan di Indonesia. 
Keempat,  dampak yang teramat serius adalah ancaman terampasnya kedaulatan dalam  pengelolaan ekonomi Indonesia. Negara-negara kreditor, melalui Bank  Dunia dan IMF, juga biasanya mendesak agar dalam perumusan setiap  kebijakan ekonomi Indonesia yang sesuai dengan keinginan mereka, yang  tentunya kebijakan tersebut disesuaikan dengan kepentingan negara-negara  kreditor. Rumusan kebijakan ekonomi yang seolah-olah “dipaksakan” oleh  Bank Dunia dan IMF selama ini dapat berdampak terhadap berkurangnya  kemandirian ekonomi Indonesia, yang dapat bermuara pada proses  penyengsaraan terhadap rakyat kebanyakan. “Pemaksaan” kehendak IMF untuk  lebih menekankan pada pemberlakuan ekonomi pasar bebas dalam perumusan  kebijakan penghapusan subsidi secara total dan privatisasi BUMN sering  dianggap sebagai pengikisan kemandirian ekonomi bangsa. 
Penyerahan  pengelolaan Blok Cepu, ladang minyak yang diperkirakan mengandung  jutaan barrel minyak mentah, kepada Exxon Mobil diduga terkait erat  dengan ketikdakberdayaan pemerintah atas tekanan dari negara kreditor.  Tidak mengherankan kalau sebagian besar konsesi pengelolaan tambang dan  mineral sudah jatuh ke tangan pemodal asing. Demikian juga dengan  terjadinya privatisasi besar-besaran BUMN sepertinya juga tidak lepas  dari tekanan IMF dan negara kreditor. Akibatnya, lebih dari 50 persen  BUMN profitable yang dipaksa listing di pasar modal, kepemilikan  sahamnya sudah dikuasai oleh jaringan modal asing. 
Upaya Keluar Dari Jebakan Utang 
Presiden RI yang terpilih pada Pilpres 2009 akan mewarisi beban jebakan  utang yang semakin akut. Oleh karena itu, Presiden terpilih harus berani  melakukan perubahan radikal yang berkaitan dengan kebijakan utang  pemerintah. Ada beberapa upaya yang harus dilakukan oleh Presiden  terpilih untuk keluar dari keterperosokan jebakan utang yang tampaknya  semakin dalam saja. 
Pertama,  Presiden terpilih harus mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan  paradigma utang dalam perekonomian Indonesia. Selama ini, Utang selalu  dipersepsikan sebagai sumber dana pembangunan potensial, seharusnya  diubah paradigmanya menjadi beban pembangunan, sehingga harus  dikeluarkan dari struktur APBN. 
Kedua,  di awal pemerintahannya, Presiden terpilih harus mengagendakan  prioritas program restrukturisasi utang untuk memotong mata rantai  jebakan “gali utang bayar utang”. Program restrukturisasi itu diupayakan  untuk penyelesaian beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunga  hingga mencapai angka NOL rupiah dalam APBN, baik lewat moratorium,  maupun penjadualan ulang dan penghapusan utang, tanpa harus menambah  utang baru. Dengan tidak mengharapkan lagi tambahan utang baru dari  negara-negara kreditor, posisi tawar Indonesia mestinya semakin kuat  untuk bisa merundingkan penyelesaian utang yang lebih menguntungkan bagi  Indonesia. 
Upaya  ketiga yang harus dilakukan oleh Presiden terpilih adalah meninjau  ulang semua kebijakan ekonomi yang pernah dipaksakan oleh negara-negara  kreditor melalui IMF, utamanya kebijakan penghapusan subsidi secara  total, pengelolaan sumberdaya alam, dan privatisasi BUMN. Dalam  perumusan ulang kebijakan ekonomi Indonesia, pemerintah harus kembali  pada amanat konstitusi, utamanya ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yang  menyatakan bahwa: “Bumi dan Air dan Kekayaan yang terkandung di dalamnya  dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran  rakyat”. Selain itu, keuntungan BUMN seharusnya menjadi salah satu  sumber dana APBN, bukan hasil penjualan BUMN yang menjadi andalan  menutup defisit anggaran berjalan. 
Indonesia  tidak dapat seterusnya bergantung pada sumber utang, baik utang dalam  negeri maupun utang luar negeri, dalam pembiayaan APBN, karena eskalasi  utang yang mengarah pada jebakan utang justru menjadi beban bagi  perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, kebutuhan pembiayaan  pembangunan harus lebih diutamakan dari sumber-sumber dana domestik  non-utang, karena bagaimanapun juga beban utang akan membuat anggaran  fiskal semakin tidak sehat. 
Beban  utang yang semakin besar membuat pemerintah memiliki keterbatasan ruang  dalam pembiayaan fiskal pada setiap tahun anggaran berjalan.  Keterbatasan fiskal tersebut harus disikapi oleh Presiden terpilih  dengan menggali potensi sumber-sumber pendanaan dalam negeri, utamanya  dari Pajak dan keuntungan BUMN secara optimal. Dengan mengoptimalkan  sumber-sumber dana dalam negeri non-utang, diharapkan Indonesia dapat  segera keluar dari jebakan utang, yang tampaknya sudah semakin berlarut  membebani perekonomian Indonesia. 
  Sumber:  
- http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/Ulasan%20Ekonomi/beban%20utang.pdf
- http://www.rtrwpapuabarat.info/fakta/pdf/pembangunan.pdf
Nama : Soraya Imaniar N. H.
Kelas : 1EB15
NPM : 26210661
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar