Sabtu, 30 April 2011

Kebijakan Pembangunan (Nasional & daerah) dengan Utang Luar Negeri

Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025 adalah mewujudkan bangsa yang maju, mandiri dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang Maju, Mandiri dan Adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok sebagai berikut yaitu terwujudnya daya saing bangsa untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera, terwujudnya Indonesia yang demokratis berlandaskan hukum, serta terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan ke seluruh wilayah.

Sedangkan dalam mendukung pembangunan nasional dengan dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi daerah yang memungkinkan daerah untuk mangatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang dimaksudkan untuk pembangunan daerah tersebut. Salah satu sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan daerah berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), untuk itu pemerintah daerah harus berusaha meningkatkan penerimaan daerahnya. Didukung dengan Kebijakan desentralisasi yang ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pembangunan infrastruktur dan pemberian berbagai fasilitas kemudahan dilakukan untuk meningkatkan daya tarik investasi.

Sejak pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan Indonesia bersatu, salah satu kebijakan ekonomi yang tidak pernah berubah adalah penggunaan utang sebagai sumber dana pembangunan, yang senantiasa tercantum dalam struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Tidak mengherankan kalau akumulasi penumpukan utang pemerintah semakin membengkak saja dari tahun ke tahun. Bahkan pembubaran IGGI pada saat pemerintahan Soeharto, maupun pembubaran CGI pada saat pemerintahan SBY-JK, ternyata tidak berperan sama sekali dalam menurunkan jumlah utang pemerintah. Alih-alih bisa menurunkan jumlah utang, justru yang terjadi malah sebaliknya, jumlah utang pemerintah cenderung semakin meningkat pada setiap tahunnya. Pada 2002 tercatat utang pemerintah sebesar US$ 63.763 juta meningkat menjadi US$ 65.446 juta pada 2008, diperkirakan pada 2009 akan naik lagi menjadi US$ 65.730 juta. Dengan peningkatan jumlah utang tersebut, tidak bisa dihindari adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan pokok utang dan bunga pada setiap tahunnya, yang menjadi beban APBN. Untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga, mau-tidak-mau pemerintah harus mengusahakan utang baru, yang jumlahnya tidak pernah mencukupi untuk membayar kewajiban utang pada setiap tahun anggaran berjalan. Pada 2001, jumlah penambahan utang baru hanya sebesar US$ 5.511, sementara jumlah pembayaran cicilan pokok utang dan bunga mencapai US$ 7.157, sehingga terdapat selisih negatif sebesar US$ -1.646. Selama periode 2001-2008, selisih negatif tersebut cenderung meningkat pada setiap tahun, hingga mencapai US$ -4.949 pada 2008. Mungkin tidak berlebihan dikatakan bahwa dalam kondisi tersebut sesunguhnya bangsa Indonesia sudah masuk ke dalam perangkap jebakan utang (debt trap), yang memaksa pemerintah melakukan “gali utang bayar utang” pada setiap tahunnya. 

Dampak Jebakan Utang
Memang rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), yang mengindikasikan peningkatan kemampuan Indonesia dalam membayar utang, cenderung menurun pada setiap tahunnya. Pada 2001 rasio utang terhadap PDB masih sebesar 77,0 persen turun menjadi 34,7 persen pada 2008, diperkirakan pada 2009 akan turun lagi menjadi 31,3 persen.
Namun, peningkatan eskalasi utang pemerintah yang mengarah pada jebakan utang tentunya memberikan beberapa dampak negatif yang akan menimpa bangsa Indonesia. Pertama, rakyat pembayar pajak, yang saat ini sedang gencar-gencarnya digalakan oleh Ditjen Pajak, harus merelakan sebagian pajak yang dibayarkannya dipergunakan oleh pemerintah untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga. Selain itu, rakyat kebanyakan juga harus ikhlas dan sabar membiarkan pemerintah memotong jatah dana pembangunan dari APBN, yang semestinya bisa untuk membiayai program peningkatan kesejahteraan rakyat, terpaksa harus digunakan untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga.
Kedua, utang akan menyuburkan lahan korupsi bagi aparat birokrasi terkait di negara penerima. Beberapa studi membuktikan bahwa semakin besar utang suatu negara, semakin besar pula potensi korupsi dan penyalahgunaan dana utang tersebut. Bank Dunia dan IMF semestinya tahu dan melakukan tindakan pencegahan bahwa sebagian utang yang disalurkan ke Indonesia selama ini telah mengalami kebocoran. Namun, kedua lembaga keuangan internasional tersebut belum berbuat sesuatu dan terkesan membiarkan saja dana yang diutangkan itu bocor dalam penggunaannya. Sikap apatis Bank Dunia dan IMF ini memunculkan tuduhan dari kritikus kebijakan bahwa selama ini tujuan memberikan utang kepada Indonesia semata-mata untuk meraup pendapatan bunga sebesar-besarnya, tanpa ambil pusing dana yang diutangkan itu mengalami kebocoran.
Ketiga, rendahnya nilai tambah utang sebagai sumber dana pembangunan. Dalam setiap pemberian utang kepada Indonesia, negara-negara kreditor selalu memaksakan persyaratan yang memberatkan dan kadang merugikan bangsa Indonesia. Pada setiap pemberian utang, negara-negara kreditor selalu mewajibkan Indonesia untuk membeli barang-barang dan penggunaan konsultan dari negara-negara kreditor, yang tarifnya relatif tinggi. Dampaknya, terjadilah arus pembalikan dana yang cukup besar dari Indonesia kembali ke negara-negara kreditor, tanpa memberikan nilai tambah yang signifikan bagi program pembangunan di Indonesia.
Keempat, dampak yang teramat serius adalah ancaman terampasnya kedaulatan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Negara-negara kreditor, melalui Bank Dunia dan IMF, juga biasanya mendesak agar dalam perumusan setiap kebijakan ekonomi Indonesia yang sesuai dengan keinginan mereka, yang tentunya kebijakan tersebut disesuaikan dengan kepentingan negara-negara kreditor. Rumusan kebijakan ekonomi yang seolah-olah “dipaksakan” oleh Bank Dunia dan IMF selama ini dapat berdampak terhadap berkurangnya kemandirian ekonomi Indonesia, yang dapat bermuara pada proses penyengsaraan terhadap rakyat kebanyakan. “Pemaksaan” kehendak IMF untuk lebih menekankan pada pemberlakuan ekonomi pasar bebas dalam perumusan kebijakan penghapusan subsidi secara total dan privatisasi BUMN sering dianggap sebagai pengikisan kemandirian ekonomi bangsa.
Penyerahan pengelolaan Blok Cepu, ladang minyak yang diperkirakan mengandung jutaan barrel minyak mentah, kepada Exxon Mobil diduga terkait erat dengan ketikdakberdayaan pemerintah atas tekanan dari negara kreditor. Tidak mengherankan kalau sebagian besar konsesi pengelolaan tambang dan mineral sudah jatuh ke tangan pemodal asing. Demikian juga dengan terjadinya privatisasi besar-besaran BUMN sepertinya juga tidak lepas dari tekanan IMF dan negara kreditor. Akibatnya, lebih dari 50 persen BUMN profitable yang dipaksa listing di pasar modal, kepemilikan sahamnya sudah dikuasai oleh jaringan modal asing.
Upaya Keluar Dari Jebakan Utang
Presiden RI yang terpilih pada Pilpres 2009 akan mewarisi beban jebakan utang yang semakin akut. Oleh karena itu, Presiden terpilih harus berani melakukan perubahan radikal yang berkaitan dengan kebijakan utang pemerintah. Ada beberapa upaya yang harus dilakukan oleh Presiden terpilih untuk keluar dari keterperosokan jebakan utang yang tampaknya semakin dalam saja.
Pertama, Presiden terpilih harus mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan paradigma utang dalam perekonomian Indonesia. Selama ini, Utang selalu dipersepsikan sebagai sumber dana pembangunan potensial, seharusnya diubah paradigmanya menjadi beban pembangunan, sehingga harus dikeluarkan dari struktur APBN.
Kedua, di awal pemerintahannya, Presiden terpilih harus mengagendakan prioritas program restrukturisasi utang untuk memotong mata rantai jebakan “gali utang bayar utang”. Program restrukturisasi itu diupayakan untuk penyelesaian beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunga hingga mencapai angka NOL rupiah dalam APBN, baik lewat moratorium, maupun penjadualan ulang dan penghapusan utang, tanpa harus menambah utang baru. Dengan tidak mengharapkan lagi tambahan utang baru dari negara-negara kreditor, posisi tawar Indonesia mestinya semakin kuat untuk bisa merundingkan penyelesaian utang yang lebih menguntungkan bagi Indonesia.
Upaya ketiga yang harus dilakukan oleh Presiden terpilih adalah meninjau ulang semua kebijakan ekonomi yang pernah dipaksakan oleh negara-negara kreditor melalui IMF, utamanya kebijakan penghapusan subsidi secara total, pengelolaan sumberdaya alam, dan privatisasi BUMN. Dalam perumusan ulang kebijakan ekonomi Indonesia, pemerintah harus kembali pada amanat konstitusi, utamanya ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Bumi dan Air dan Kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Selain itu, keuntungan BUMN seharusnya menjadi salah satu sumber dana APBN, bukan hasil penjualan BUMN yang menjadi andalan menutup defisit anggaran berjalan.
Indonesia tidak dapat seterusnya bergantung pada sumber utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri, dalam pembiayaan APBN, karena eskalasi utang yang mengarah pada jebakan utang justru menjadi beban bagi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, kebutuhan pembiayaan pembangunan harus lebih diutamakan dari sumber-sumber dana domestik non-utang, karena bagaimanapun juga beban utang akan membuat anggaran fiskal semakin tidak sehat.
Beban utang yang semakin besar membuat pemerintah memiliki keterbatasan ruang dalam pembiayaan fiskal pada setiap tahun anggaran berjalan. Keterbatasan fiskal tersebut harus disikapi oleh Presiden terpilih dengan menggali potensi sumber-sumber pendanaan dalam negeri, utamanya dari Pajak dan keuntungan BUMN secara optimal. Dengan mengoptimalkan sumber-sumber dana dalam negeri non-utang, diharapkan Indonesia dapat segera keluar dari jebakan utang, yang tampaknya sudah semakin berlarut membebani perekonomian Indonesia. 
  Sumber: 
- http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/Ulasan%20Ekonomi/beban%20utang.pdf
- http://www.rtrwpapuabarat.info/fakta/pdf/pembangunan.pdf

Nama : Soraya Imaniar N. H.
Kelas : 1EB15
NPM : 26210661